Bismillah
Sudah setahun aku merantau di Jakarta dan meninggalkan kota kelahiranku, Makassar. Ini adalah masa perantauan yang paling lama dan tidak kembali menengok bapak dan mama. Ya… ini karena faktor pandemi yang membuatku tidak bisa pulang, sangat berisiko rasanya untuk bapak dan mama yang sudah tidak memiliki imun yang kuat jika bertemu dengan anak bungsunya yang datang dari daerah berlabel zona merah. Kondisi ini beda banget ketika aku masih merantau di Jogja, setidaknya 2x setahun bisa berjumpa dengan keluarga kecilku.
Rasanya rindu sekali ingin memeluk tubuh mereka berdua, bapak dan mamaku yang menjadi support system utamaku untuk terus melangkah melupakan hal-hal buruk di masa lalu. Mereka berdua yang selalu menitipkan pesan agar sholat jangan ditinggalkan.
Aku teringat pesannya di saat aku masih sangat galau harus mengambil kesempatan yang Allah berikan kepadaku yaitu menjadi seorang “Banker”.
“Apapun yang terjadi kedepan, bapak akan selalu mendukung mu nak. Tidak ada di dunia ini yang konsisten termasuk nasibmu untuk tinggal di kota dan bekerja pada profesi yg sangat kau hindari. Allah punya rencana, kita ini adalah makhluk yang digerakkan. Dua pesanku yg dari kau kecil selalu kutitipkan, jangan tinggalkan sholat dan selalu berdzikir. Jika kau salah jalan dan lingkungan, sholat dan dzikirmu yang nanti akan menuntunmu kembali pada kebaikan, karena bapak tidak bisa menjagamu nak, tapi sholat dan dzikirmu yg akan sampai ke Allah, dia maha pelindung”. Sambil dipeluk, dicium dan kepalaku diusap-usap. Kangen ini… š„
Keeseokan harinya setelah drama galau di malam hari, bapak dan mama, sahabat sejatiku masih setia mengantarku hingga didepan pintu masuk bandara. Terkadang aku masuk mengurus barang bawaanku untuk merantau, lalu kembali keluar ngobrol santai dengan bapak dan mama. Seperti biasa, pesannya kalau sudah sampai di Jakarta harus beri kabar, ASAP (as soon as possible :D). Aku melihat bapak dan mama sering melihatku, terkadang memeluk, lalu kembali melihat anak bungsunya ini. Mungkin dia berpikir aku bukan anak-anak lagi heheh.
Dari tatapan bapak dan mama di bandara itu aku menyadari bahwa bisa saja itu adalah tatapan terakhirnya untukku.
Sekarang, setahun lebih setelah perpisahan fisik dengan bapak dan mama di bandara, aku kembali mengingat momen ketika aku masih kecil dulu.
Aku teringat momen ketika aku masih berumur 7 tahun, disaat bapak akan mencari rezeki di kota lain, walaupun aku sangat ngantuk, bapak akan membangunku dan kakakku agar ada ciuman untuknya dari dua putri kecil dan istrinya. Sebelum berangkat bapak sering berucap ābapak pergi dulu, kita tidak akan pernah tahu rencana Allah, apakah bapak akan kembali lagi dengan fisik hidup seperti ini atau dalam bentuk telah berkafanā.
Moment ini mengajarkanku bahwa waktu paling kritis di bandara ialah bukan pada saat pesawat akan take off, tapi pada saat kau tidak lagi melihat bayangan orang-orang terkasihmu dari dinding bandara yang terlewati, maka dari itu, antar ia jika kamu sanggup, temani ia melangkah memasuki titik pisah antara kamu dengannya, karena kamu tidak akan pernah tahu kapan melihatnya lagi. Bisa saja tindakan kecilmu menjumpainya dapat merubah skenario Tuhan dikemudian hari.
Alhamdulillah. Terima kasih Allah